Ingwer Ludwig Nommensen dilahirkan 6 Pebruari 1834 di Nortstrand, sebuah pulau kecil di Jerman Utara. Ia menggembala domba pada musim panas untuk membantu orang tuanya yang tunakarya karena sakit-sakitan. Ia juga sering kelaparan dan mencari sisa-sisa makanan di rumah orang-orang kaya bersama teman-temannya. Waktu luangnya digunakan untuk bekerja sebagai buruh tani atau membantu tukang yang memperbaiki atap rumah. Ia seorang yang ulet dan gigih, tidak kenal menyerah.
Pada usia 12 tahun, saat sedang bermain kejar-kejaran dengan temannya, ia tertabrak kereta kuda hingga kakinya patah dan dia harus berbaring di tempat tidur selama berbulan-bulan. Sekalipun sedih, ia bersyukur karena teman-teman sering menengok dan menceritakan pelajaran dan cerita-cerita yang mereka dengar dari guru. Cerita tentang pengalaman para pendeta yang pergi memberitakan Injil sangat mengesankan baginya. Setelah dirawat beberapa waktu lukanya makin parah sehingga dia tidak dapat berjalan sama sekali. Dokter memutuskan untuk mengamputasi kakinya. Nommensen yang sudah ada kerinduan untuk menjadi pemberita Injil, menjadi bingung. Dia membaca firman Tuhan dalam Yohanes 16:23, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku”. Firman ini membuat Nommensen bertanya kepada ibunya, “Apakah perkataan Yesus masih berlaku?” Mendengar jawaban ibunya, ia minta didoakan untuk kesembuhannya dan berjanji akan pergi memberitakan Injil kepada orang yang belum mengenal Kristus; apabila sudah sembuh kelak. Tidak lama kemudian ia memperoleh kesembuhan total. Dan pada umurnya 15 tahun ia meneguhkan iman dengan menerima sidi.
Setelah dapat berjalan kembali dengan baik, pada tahun 1853 dengan berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pamitan dengan orangtua dan sanak kerabatnya untuk memulai tugas penginjilan. Awalnya ia mau menginjil di luar daerah, namun dia gagal menjadi kelasi di pelabuhan Wick. Beberapa minggu kemudian di Boldixum, ia bertemu dengan mantan gurunya, Hainsen, yang akhirnya mengangkat Nommensen menjadi pembantunya setelah beberapa waktu menjadi koster. Ia di tempatkan di Tonderm dan di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted yang mengajarnya bagaimana menjadi seorang pemberita Kabar Baik. Setelah memiliki pengetahuan yang cukup tentang sulitnya medan misi dan tantangan-tantangan sebagai penginjil, ia akhirnya melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein (RMG). Pada tahun 1857, Nommensen belajar di sekolah pendeta di Barmen. Disamping kuliah, ia juga menjadi tukang sepatu, tukang kebun, tukang sapu dan juru tulis sekolah itu.Ia berhasil lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1861 lalu berangkat ke Belanda.
Sehari sebelum Natal pada tahun 1861, dengan kapal Pertimax, dia menuju Sumatera. Bulan Mei 1862, ia tiba di Padang (setelah 142 hari mengalami penderitaan di atas kapal). Di sinilah ia mengucapkan doa penyerahannya yang agung, “Seluruh hidup, tenaga, badan dan jiwa dan segala rahmat yang KAU limpahkan kepadaku, kuserahkan kembali kepada-Mu. Aku tidak dapat membalas kasih-Mu yang menyelamatkanku. Semua yang ada padaku, dari pada-Mu jua kuterima karena itu semuanya bukanlah kepunyaanku.” dan mengawali pelayanannya di Sumatera. Kemudian dia melanjutkan perjalanan ke Sibolga dan memulai pendekatan kepada orang Batak di daerah Barus. Dengan rajin, dalam waktu yang singkat ia dapat menguasai bahasa Batak dan Melayu, mempelajari adat istiadat setempat dan mengadakan pendekatan terutama kepada raja. Setelah merasa mengetahui banyak hal tentang penduduk setempat, dia mulai mengunjungi desa-desa yang terpencil yang penduduknya masih kanibal. Sekalipun ia sangat ramah namun ia mendapat banyak kesulitan, mereka juga mencurigainya sebagai
mata-mata Belanda yang hendak menaklukkan bangsa Batak yang merdeka itu.
Nommensen tidak takut walaupun mereka berusaha mengusirnya. Sembari berkotbah ia mengobati yang sakit dan menghibur mereka dengan bermain Harmonika. Ia mendapat sambutan ramah dari penguasa Desa Rambe. Karena dia tidak diizinkan oleh Residen Belanda untuk mendirikan rumah di situ, ia berangkat ke Sigompulon dan menemui Pendeta Heine dan Van Asselt.
Sekalipun banyak tantangan, semangatnya tidak surut. Selain berkotbah, mengunjungi dan mengobati orang sakit; dia mulai bergerak di bidang pelayanan pendidikan. Di Parau Sorat, Nommensen mendapat kesulitan makanan. Sering kali ia hanya makan bubur dan susu kerbau di pagi hari dan nasi campur pisang goreng di sore hari. Pemerintah juga melarangnya masuk pedalaman. Oleh sebab itu ia mengubah strategi pelayanan dengan memulai dari kota, Tapanuli. Pada awal tahun 1864, ia pindah ke Silindung dan mengalami suatu peristiwa ajaib. Ia mengahadiri acara pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya masyarakat menyembelih seekor kerbau dan seorang manusia. Karena penyembah berhala tidak menyukainya, maka Sibaso (pengantar roh-roh halus) yang sedang kerasukan roh jahat menyuruh khalayak membunuhnya. Ia tidak takut, malah tampil ke depan seraya berkata,”Roh yang berbicara melalui Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah seorang keturunannya!” Setelah Nommensen berkata demikian, Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak lagi menggangunya.
Tanggal 29 Mei 1864, dia mendirikan rumah di Sait ni Huta Tarutung dan memulai misi pelayanan injil di Tapanuli Utara dan mendirikan jemaat yang pertama di Huta Dame. Ia merancang perkampungan itu menjadi perkampungan Kristen. Dia menerapkan prinsip-prinsip hidup yang khas, prinsip kerja yang teratur dan padat dan mengajarkan jemaat agar setiap pukul 06.00 berdoa sambil membaca firman Tuhan untuk bekal sepanjang hari. Pukul 09.00, 12.00, 15.00 dan 18.00 loceng selalu dibunyikan untuk mengingatkan orang Kristen untuk menghadap Tuhan di manapun mereka berada. Pukul 19.00 – 21.00 orang-orang dewasa dan para pelajar berdoa. Dalam komunitas Huta Dame ibadah diatur secara ketat setiap hari. Di kemudian hari ia berhasil menyusun tata gereja bagi jemaat. Ia memperhatikan nasib orang miskin. Bersama jemaat dia mengumpulkan dana dan membeli sawah untuk digarap, memintakan Residen Belanda agar menjamin keamanan masyarakat dan meminta tentara untuk tidak membakar rumah-rumah rakyat.
Pada tahun 1873, Nommensen mendirikan gedung gereja, sekolah dan rumah pribadinya di Pearaja yang kemudian menjadi pusat Huria Kristen Batak Protestan. Tuhan memberkati pelayanannya sehingga injil semakin meluas. Ia juga menerbitkan cerita-cerita Batak, menterjemah Perjanjian Baru ke dalam bahasa Toba. Pada tahun 1891, dia pindah ke Kampung Sigumpar sampai akhir hidupnya. Ia berusaha memperbaiki system pertanian, peternakan dan meminjamkan modal usaha bagi jemaat yang kurang mampu. Disamping menebus para hamba dari tuannya, ia mendirikan sekolah-sekolah dan balai –balai pengobatan. Untuk melanjutkan pelayananya, Nommensen melatih para orang Batak . Ia mendirikan sekolah penginjil dan sekolah pendidikan guru. Kerana jasa-jasanya ia diangkat menjadi Ephorus oleh pimpinan RMG pada tahun 1881 dan pada 6 Pebruari 1904, pada ulang tahunnya yang ke 70, Universitas Bonn menganugerahi gelar Doktor Honoris Causa kepadanya. Dr. Ingwer Ludwig Nommensen, Rasul Orang Batak, meninggal dunia di Sigumpar setelah melayani selama 57 tahun. Namanya diabadikan sebagai nama Universitas HKBP Medan dan Permatang Siantar. Dari hasil pelayanannya lahirlah beberapa gereja besar seperti: HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP, GKPA yang saat ini tersebar di Indonesia dan Singapura.
Pada usia 12 tahun, saat sedang bermain kejar-kejaran dengan temannya, ia tertabrak kereta kuda hingga kakinya patah dan dia harus berbaring di tempat tidur selama berbulan-bulan. Sekalipun sedih, ia bersyukur karena teman-teman sering menengok dan menceritakan pelajaran dan cerita-cerita yang mereka dengar dari guru. Cerita tentang pengalaman para pendeta yang pergi memberitakan Injil sangat mengesankan baginya. Setelah dirawat beberapa waktu lukanya makin parah sehingga dia tidak dapat berjalan sama sekali. Dokter memutuskan untuk mengamputasi kakinya. Nommensen yang sudah ada kerinduan untuk menjadi pemberita Injil, menjadi bingung. Dia membaca firman Tuhan dalam Yohanes 16:23, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku”. Firman ini membuat Nommensen bertanya kepada ibunya, “Apakah perkataan Yesus masih berlaku?” Mendengar jawaban ibunya, ia minta didoakan untuk kesembuhannya dan berjanji akan pergi memberitakan Injil kepada orang yang belum mengenal Kristus; apabila sudah sembuh kelak. Tidak lama kemudian ia memperoleh kesembuhan total. Dan pada umurnya 15 tahun ia meneguhkan iman dengan menerima sidi.
Setelah dapat berjalan kembali dengan baik, pada tahun 1853 dengan berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pamitan dengan orangtua dan sanak kerabatnya untuk memulai tugas penginjilan. Awalnya ia mau menginjil di luar daerah, namun dia gagal menjadi kelasi di pelabuhan Wick. Beberapa minggu kemudian di Boldixum, ia bertemu dengan mantan gurunya, Hainsen, yang akhirnya mengangkat Nommensen menjadi pembantunya setelah beberapa waktu menjadi koster. Ia di tempatkan di Tonderm dan di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted yang mengajarnya bagaimana menjadi seorang pemberita Kabar Baik. Setelah memiliki pengetahuan yang cukup tentang sulitnya medan misi dan tantangan-tantangan sebagai penginjil, ia akhirnya melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein (RMG). Pada tahun 1857, Nommensen belajar di sekolah pendeta di Barmen. Disamping kuliah, ia juga menjadi tukang sepatu, tukang kebun, tukang sapu dan juru tulis sekolah itu.Ia berhasil lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1861 lalu berangkat ke Belanda.
Sehari sebelum Natal pada tahun 1861, dengan kapal Pertimax, dia menuju Sumatera. Bulan Mei 1862, ia tiba di Padang (setelah 142 hari mengalami penderitaan di atas kapal). Di sinilah ia mengucapkan doa penyerahannya yang agung, “Seluruh hidup, tenaga, badan dan jiwa dan segala rahmat yang KAU limpahkan kepadaku, kuserahkan kembali kepada-Mu. Aku tidak dapat membalas kasih-Mu yang menyelamatkanku. Semua yang ada padaku, dari pada-Mu jua kuterima karena itu semuanya bukanlah kepunyaanku.” dan mengawali pelayanannya di Sumatera. Kemudian dia melanjutkan perjalanan ke Sibolga dan memulai pendekatan kepada orang Batak di daerah Barus. Dengan rajin, dalam waktu yang singkat ia dapat menguasai bahasa Batak dan Melayu, mempelajari adat istiadat setempat dan mengadakan pendekatan terutama kepada raja. Setelah merasa mengetahui banyak hal tentang penduduk setempat, dia mulai mengunjungi desa-desa yang terpencil yang penduduknya masih kanibal. Sekalipun ia sangat ramah namun ia mendapat banyak kesulitan, mereka juga mencurigainya sebagai
mata-mata Belanda yang hendak menaklukkan bangsa Batak yang merdeka itu.
Nommensen tidak takut walaupun mereka berusaha mengusirnya. Sembari berkotbah ia mengobati yang sakit dan menghibur mereka dengan bermain Harmonika. Ia mendapat sambutan ramah dari penguasa Desa Rambe. Karena dia tidak diizinkan oleh Residen Belanda untuk mendirikan rumah di situ, ia berangkat ke Sigompulon dan menemui Pendeta Heine dan Van Asselt.
Sekalipun banyak tantangan, semangatnya tidak surut. Selain berkotbah, mengunjungi dan mengobati orang sakit; dia mulai bergerak di bidang pelayanan pendidikan. Di Parau Sorat, Nommensen mendapat kesulitan makanan. Sering kali ia hanya makan bubur dan susu kerbau di pagi hari dan nasi campur pisang goreng di sore hari. Pemerintah juga melarangnya masuk pedalaman. Oleh sebab itu ia mengubah strategi pelayanan dengan memulai dari kota, Tapanuli. Pada awal tahun 1864, ia pindah ke Silindung dan mengalami suatu peristiwa ajaib. Ia mengahadiri acara pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya masyarakat menyembelih seekor kerbau dan seorang manusia. Karena penyembah berhala tidak menyukainya, maka Sibaso (pengantar roh-roh halus) yang sedang kerasukan roh jahat menyuruh khalayak membunuhnya. Ia tidak takut, malah tampil ke depan seraya berkata,”Roh yang berbicara melalui Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah seorang keturunannya!” Setelah Nommensen berkata demikian, Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak lagi menggangunya.
Tanggal 29 Mei 1864, dia mendirikan rumah di Sait ni Huta Tarutung dan memulai misi pelayanan injil di Tapanuli Utara dan mendirikan jemaat yang pertama di Huta Dame. Ia merancang perkampungan itu menjadi perkampungan Kristen. Dia menerapkan prinsip-prinsip hidup yang khas, prinsip kerja yang teratur dan padat dan mengajarkan jemaat agar setiap pukul 06.00 berdoa sambil membaca firman Tuhan untuk bekal sepanjang hari. Pukul 09.00, 12.00, 15.00 dan 18.00 loceng selalu dibunyikan untuk mengingatkan orang Kristen untuk menghadap Tuhan di manapun mereka berada. Pukul 19.00 – 21.00 orang-orang dewasa dan para pelajar berdoa. Dalam komunitas Huta Dame ibadah diatur secara ketat setiap hari. Di kemudian hari ia berhasil menyusun tata gereja bagi jemaat. Ia memperhatikan nasib orang miskin. Bersama jemaat dia mengumpulkan dana dan membeli sawah untuk digarap, memintakan Residen Belanda agar menjamin keamanan masyarakat dan meminta tentara untuk tidak membakar rumah-rumah rakyat.
Pada tahun 1873, Nommensen mendirikan gedung gereja, sekolah dan rumah pribadinya di Pearaja yang kemudian menjadi pusat Huria Kristen Batak Protestan. Tuhan memberkati pelayanannya sehingga injil semakin meluas. Ia juga menerbitkan cerita-cerita Batak, menterjemah Perjanjian Baru ke dalam bahasa Toba. Pada tahun 1891, dia pindah ke Kampung Sigumpar sampai akhir hidupnya. Ia berusaha memperbaiki system pertanian, peternakan dan meminjamkan modal usaha bagi jemaat yang kurang mampu. Disamping menebus para hamba dari tuannya, ia mendirikan sekolah-sekolah dan balai –balai pengobatan. Untuk melanjutkan pelayananya, Nommensen melatih para orang Batak . Ia mendirikan sekolah penginjil dan sekolah pendidikan guru. Kerana jasa-jasanya ia diangkat menjadi Ephorus oleh pimpinan RMG pada tahun 1881 dan pada 6 Pebruari 1904, pada ulang tahunnya yang ke 70, Universitas Bonn menganugerahi gelar Doktor Honoris Causa kepadanya. Dr. Ingwer Ludwig Nommensen, Rasul Orang Batak, meninggal dunia di Sigumpar setelah melayani selama 57 tahun. Namanya diabadikan sebagai nama Universitas HKBP Medan dan Permatang Siantar. Dari hasil pelayanannya lahirlah beberapa gereja besar seperti: HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP, GKPA yang saat ini tersebar di Indonesia dan Singapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar